MEMORI TENTANG KOPI



            Aku duduk di kursi cafe coffee. Cafe yang terkenal dengan kelezatan kopinya. Seorang cowok tak dikenal merekomendasikan cafe ini. Lagi-lagi, aku merasakan dejavu. Perasaan seperti pernah duduk disini dan minum kopi sebelumnya. Pikiran itu begitu kuat. Aroma kopi seakan membuat otakku berusaha bekerja lebih keras. Mengingat suatu memori yang tersimpan tentang kopi. Tapi memori apa? Aku tak pernah mendapat jawabannya. Semakin aku merasakan perasaan itu, semakin aku ingin tahu. Aku harus menemukan memori yang hilang tentang kopi.
            Pelayan menyodorkan secangkir kopi. “Aku belum memesan apapun.” Protesku. “Itu sesuai selera mbak Ana.” Ucapnya sambil tersenyum. Aku bingung. Dia tahu namaku. “Aku senang melihatmu sudah kembali.” Kalimat selanjutnya makin membuatku bingung. Kenapa seakan-akan mereka sudah mengenalku? Aku menggelengkan kepalaku dan meminum habis kopi itu. Rasanya benar-benar nikmat. Entah kenapa, air mataku menetes. Kesedihan yang mendalam. Aku tahu, pasti ini memoriku yang hilang. Sebuah bayangan muncul dipikiranku. Seorang cowok menyodorkan kopi. Aku meminumnya. Rasanya persis seperti ini. Aku tersenyum. Begitu pula cowok itu. “Aku akan sering minum kopi ini.” Kataku. Cowok itu lagi-lagi tersenyum.
Kepalaku terasa pusing. Wajah cowok itu menjadi jelas. Wajahnya tampan. Aku baru ingat. Wajahnya sama persis dengan orang yang merekomendasikan cafe ini padaku. “Apa kalian mengenalku?” Tanyaku pada pelayan yang bekerja disana. Para pelayan mulai memandangku dengan tatapan kasihan. “Ayolah, katakan sesuatu! Jangan membuatku bingung!” Aku tidak bisa mengingat lagi dan itu membuatku menangis. Aku berusaha mengingatnya tapi kepalaku terasa sangat sakit. Sebelum aku pingsan, seseorang menopang tubuhku.
==
            Jam buka sudah mulai berakhir. Ana melirik jam dinding. Kenapa Alfred belum datang? Tiba-tiba kepulan asap memenuhi ruangan. Semakin lama, semakin tebal. Ana terkejut begitu melihat kedai kopi-nya terbakar hebat. Ia berlari ingin menyelamatkan kedainya. Baginya, kedai ini serasa jiwanya karena ia membangunnya bersama Alfred, dengan perjuangan keras. Namun kayu atap menimpa kepalanya. Ia pingsan.
            Aku tersadar. Apa mimpi tadi adalah masa laluku? Seorang cowok yang sama dengan yang ada dalam memoriku, datang menanyakan keadaanku. “Siapa kamu?” Tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya. Dia menatapku dengan sedih. “Alfred?” Tanyaku tanpa sadar meluncurkan kata itu. Dia terkejut. “Kamu sudah mengingatku? Kamu sudah mengingat semuanya?” Tanyanya penuh harap. Aku menggeleng lemah. Dia menunduk sedih. “Bagaimanapun juga, aku ingin mengingatnya. Perasaan ini begitu dalam. Tolong ceritakan semuanya.” Alfred kelihatan ingin menghindar tapi akhirnya, ia mengatakannya. “Kita dibesarkan di panti asuhan yang sama. Persahabatanku denganmu akhirnya menjadi cinta yang lebih jauh dari itu. Kita membangun impian kita bersama. Memulai dengan membuka kedai kopi.” Air mata menetes ketika dia menceritakannya padaku. Pantas saja, ada perasaan yang kuat dengan Alfred. Aku seperti pernah mengenalnya. Bahkan sangat mengenalnya.
Ia menghentikan ceritanya. “Sebaiknya tidak kulanjutkan. Aku tidak ingin menambah beban lagi untukmu. Itu semua salahku.” Alfred menahan tangisnya. Ia bangkit berdiri dan masuk ke dalam ruang staff. “Alfred!” Air mataku menetes lagi. Perasaan rindu semakin kuat. “Aku memang tidak mengingatnya tapi aku tahu jelas perasaan ini. Aku menyayangimu.”  Perlahan pintu dibuka. Aku menyeruak masuk dan memeluknya. Tubuhnya beraroma kopi. Sambil memeluknya, aku mencoba mengingat semuanya.
            Ana memasang papan nama kedainya. Alfred membantunya. Papan itu bertuliskan ‘Kedai kopi double A’. Alfred dan Ana. “Suatu saat nanti, kita akan membangun cafe kopi yang lebih hebat dari ini.” Ucap Alfred  sambil memeluk Ana. Pelukan hangat.
            Kepalaku terasa sangat pusing. Aku menekan-nekan kepalaku. Aku harus mengingatnya. “Sudah. Nggak usah diingat-ingat lagi. Itu hanya akan membuat kamu semakin sakit.” Alfred memegangi tanganku. “Tapi aku harus mengingatnya. Memori itu sangat penting.” Aku menangis. “Kamu bisa mati kalau terus berusaha mengingatnya!” Bentak Alfred. “Aku tidak peduli!” Bentakku. Alfred memelukku. “Aku tidak mau kehilangan kamu, Ana. Aku sangat mencintaimu.” Alfred melepaskan pelukannya dan menuntunku ke kursi panjang. “Aku akan menceritakan semuanya.”
            Alfred menceritakan semuanya. Aku menghabiskan tiga cangkir kopi sambil mendengarkan kisahku. Memori yang hilang tentang kopi. Memori itu memang penting karena ada Alfred di dalamnya. Aku mencintai Alfred, cafe coffee dan kopi buatannya. Alfred dan kopi. Dua hal dalam memoriku yang tidak bisa dipisahkan dan tidak boleh dilupakan. Ah, kopi ini terasa lebih nikmat karena Alfred.
==

            Alfred terkejut begitu melihat kedainya terbakar. Ia membawa Ana ke rumah sakit. Ia merasa begitu bersalah karena tidak bisa menjaga Ana dari preman pengacau yang sudah membakar kedainya. Kedai yang didirikan dengan kerja keras Ana dan Alfred. Begitu tahu bahwa Ana hilang ingatan, Alfred pergi menjauhi Ana. Ia tidak mau menjadi beban bagi Ana. Ana dirawat dan diasuh oleh orangtua asuhnya. Ia memiliki orangtua asuh sejak berumur 15 tahun sedangkan Alfred tidak. 2 tahun ia berpisah dengan Ana. Dalam masa-masa itu, ia bekerja keras membangun cafe coffee seperti yang dia impikan bersama Ana. Hingga ia bertemu kembali dalam situasi yang berbeda.

=THE END=


Komentar

Postingan Populer